Sunday, July 22, 2012

A Little Something


I just bought a book entitled Indonesia Mengajar yesterday. Even by reading half of the book, I already got so many inspiring stories. Recommended! This time I want to share one of my favorite which made me realize how often I’m whining about things that, somehow, unattainable for some people out there. The story was written by Erwin Puspaningtyas Irjayanti. She was Pengajar Muda in a little town (hmm maybe not “town”, somewhere in outlying district) called Passau, south of Sulawesi. In Passau there are only 60 houses (according to Erwin’s writing in the book), electricity is available by genset (generator set) only at 19.00 – 22.00.

Here I write down part of the story, if you want to read the complete version, you can buy, or borrow, the book, or find the story on www.indonesiamengajar.org (but I don’t know the complete link. On the prolog of the book, Anies Baswedan said that the book is based on the written stories by Pengajar Muda via blog on the website).


MEMBACA INDONESIA RAYA
By Erwin Puspaningtyas Irjayanti

“Apapun yang tidak membunuh kita, menguatkan kita.” Nietzche.


Saya menuliskan cerita ini live di atas bukit pada sore yang terik. Keringat pun bercucuran. Saat itu saya sedang duduk putus asa. Saya ingin berteriak kencang. Saya lelah berjalan dari satu bukit ke bukit lain untuk mencari air bersih agar bisa diminum sekeluarga. Selain itu, saya suka harus berjalan dari satu bukit ke bukit lain untuk sekadar mencari sayur, kacang panjang, dan syukur-syukur dapat kacang tanah untuk dijadikan lauk nanti malam. Jika tidak mendapatkan apa-apa untuk makan malam, terpaksa kami mengambil daun langurru’ dan batang rotan untuk dimasak jadi sayur. Rasanya? Jangan tanya. Sayurnya licin selicin daging tanaman lidah buaya. Buat menelan saja butuh perjuangan.


Ya, saya ingin berteriak, setengah putus asa karena akan pulang dengan tangan kosong. Saya belum mendapatkan apa yang kami cari. Dan, dada saya kian sesak mengingat orang-orang sini melakukan kegiatan ini setiap harinya. Suatu komunitas yang tinggal di rumah panggung, di pedalaman bukit-bukit, jauh dari gemerlap apalagi teknologi. Saudara kita. Satu tanah air. Beginilah susahnya keseharian mereka, dulu, sekarang, dan entah sampai kapan.


Just wanna say to everyone in this world bahwa jika hari ini pekerjaanmu melelahkan, alangkah indahnya jika kamu bersyukur karena keringat dan jerih payahmu itu dihargai lebih dari sekedar air bersih, sayur, kacang panjang, dan batang rotan untuk menyambung hidup.


Dan, jika kamu hanya makan “apa adanya“ atau makan yang tidak sesuai seleramu, syukurilah karena itu hanya hari ini saja. Atau bahkan, itu hanya KALI INI saja.


Maka, jika nanti malam kamu akan beranjak tidur, sampaikan salam hangat yang paling hangat dari saya untuk kasur empuk dan mungkin AC di kamarmu. Baru 7 bulan lagi saya akan meninggalkan papan tidur dan bertemu kasur tidur seempuk kasurmu malam ini.


Dan, jika saat ini, besok, atau esok dan esoknya lagi kau ingin mengeluh karena listrik padam, bersyukurlah karena itu hanya akan 1, 2, 3, 7, 8, atau 10 jam saja. Di sini, listrik pun bahkan tak ada.


Oh ya, jadi ingat sama uang Rp18.000,00 di dalam kantong.


Yah, saat 10 hari lalu saya ambil Rp50.000,00 dari ATM dan hari ini masih tersisa Rp18.000,00, saya jadi ingin memberi tahu bahwa pendapatan rata-rata per bulan di sini adalah Rp150.000,00 hingga Rp200.000,00/KK.


Jadi, hari ini kalau kamu ke restoran entah apa namanya dan membayar setidaknya Rp150.000,00 untuk santapan yang tersaji di mejamu, ingatlah bahwa uang sebesar itu adalah penyambung hidup kami di sini selama sebulan. Lalu, bersyukurlah atas apa yang kau punya.


......


So that's what got touched me :')

No comments:

Post a Comment